Mentalitas Inlander..

Bersaing dengan amai-amai*

Sudah hampir setengah jam semenjak kepergiannya, mulai tak tenang hati ini, bukan tak tenang karena mengkhawatirkan kalau terjadi apa-apa terhadap kawan ku ini melainkan karena cemas memikirkan perut yang mulai memberontak minta diisi. Aku khawatir penyakit mag ku kambuh lagi.

Dalam hati aku mencela diri ku sendiri “Huh..betapa tak tahu dirinya kamu, keselamatan diri yang kau dahulukan. Kenapa tak sedikitpun rasa cemas dalam diri mu terhadap kawan mu itu..?!”

Benar, aku langsung istighfar, pada dia kawan baik ku. Untung dia mau aku minta tolong untuk dilikan samba,[1] sebab dia juga hendak membali samba. Aku telah biasa membeli samba kepada pedagang kaki lima yang berjualan tidak jauh dari kantor kami. Setengah kilo tidak sampai jaraknya. Dagangannya laku dan selalu ramai, supaya tidak kehabisan kami selalu datang lebih awal yakni sekitar pukul sebelas. Namun sayang, rupanya banyak yang seide dengan kami, maka jadilah kami memiliki banyak saingan. Kebanyakan saingan kami ialah ibu-ibu pemalas, malas untuk memasak di rumah. lagi pula harga makanan disini lebih murah dari pada dibeli di tempat lain.

“Atau jangan-jangan kawan ku ini terhambat oleh banyaknya antrian?” Seru ku dalam hati sambil memain-mainkan jari di atas keyboard. Biasanya ibu-ibu tidak mau mengalah. Datang terlambat tapi pesanannya harus dapat duluan. Terkadang si penjual sudah kehabisan akal menghadapi ibu-ibu semacam ini. Tidak hanya kaum ibu, hampir sebagian besar orang-orang di negeri ini tidak mau bersabar dan menenggang orang lain. Atau dengan kata lain “antri”.

“Ini engku samba pesanan engku. Maaf saya terlambat, banyak ibu-ibu tadi saya dapati di sana. Mereka semua berebut sehingga si uni jadi kepayahan. Bahkan antrian saya dilangkahi oleh tiga orang..” Seru kawan ku begitu masuk ke ruangan kami, aku jadi terkejut. Dia bicara sambil berjalan menjinjing kantong asoi[2] hitam berisi samba pesanan kami.

Ah.. aku jadi tak tega dan menyesal dalam hati telah berprasangka yang bukan-bukan terhadap dirinya. “Haha.. tak apa, memang benar di tempat uni pelanggannya banyak. Tapi kok sudah banyak pembelinya, bukankah engku datang pukul sebelas tadi?” tanya ku.

“Ah.. akupun heran kenapa kok bisa ramai semacam itu. Aku curiga, jangan-jangan ibu-ibu itu telah ramai menanti si uni sehingga begitu tiba langsung diserbu..” jawabnya acuh.

Kami langsung mengambil nasi yang kami bawa dari rumah tadi. Beginilah nasib anak kos, tanak nasi di rumah, dibawa ke kantor, dan sambanya dibeli di lepau. Kalau meminjak kata kawan ku ini “Parasaian Bujangan..” begitulah katanya.

“Lama juga tadi aku berdiri di sana engku, aku kira si uni melihat ketika aku datang” terangnya sambil memindahkan nasi ke pinggan “Aku kira dia melihat, sebab aku yakin kalau uni sudah tahu kedatangan ku dia tentunya faham berada pada urutan ke berapa di ku ini” lanjutnya lagi.

Memang uni pedagang samba ini memiliki ingatan yang kuat. Jika ada yang memesan dia hanya mengingatnya di dalam kepala dan pesanan tidak pernah salah.

“Tapi tampaknya karena banyak amai-amai nyinyir dan pemalas yang mendesak-desak supaya pesanannya di dahulukan. Ingatannya jadi kacau” lanjutnya kemudian.

“Lalu kanapa engku tidak mengingatkan uni tersebut..?” pancing ku. Sebenarnya aku sudah faham keadaan disana dan biasanya aku juga diam saja menanti sampai ditanya oleh si uni perihal hendak memesan apa. Sebab malu kami rasanya jika ikut berdesak-desakan dan bernyinyir pula sama dengan amai-amai ini. Begitu juga dengan kawan ku ini diapun sependirian dengan ku perihal perkara ini.

“Ah.. malulah, sama pula kita dengan amai-amai pemalas itu. Lagipula engku kan tahu, aku tak suka dengan orang yang tak mau antri, tak pandai bersabar, dan suka menang sendiri” sergahnya.

Sekarang kami telah sama-sama menyantap hidangan, nasi kami berdua telah dingin sebab semenjak tadi pagi dibungkus. Beginilah tiap hari perasaian kami, memakan nasi dingin di tengah hari. Sambil makan, kawan ku inipun melanjutkan ceritanya “Ada kejadian yang sangat membuat ku kesal tadi engku, sebenarnya sudah beberapakali ku amati dan terus terjadi. Tapi entah kenapa hari ini semakin menjadi, mungkin karena bulan baru.” Kisahnya.

“Apa pula itu engku..?” pancing kami

“Kebanyakan amai-amai tadi membawa uang besar, warna biru semuanya (Rp.50.000). si uni  telah memohon agar diberikan uang pas atau uang kecil saja. Sebab tak ada kembalian, kalaupun ada, untuk jaga-jaga bagi si uni. Namun tetap saja amai-amai pesolek ini memberikan uang besar. Kepayahan si uni mencari gantinya, tapi amai-amai mati karancak-an ini sama sekali tak peduli. Malah berujar “kan ada tu, kan ada tu..” begitu katanya. Huh.. rasa-rasanya hendak ku ketam saja bibir tebal amai-amai itu..” kisahnya penuh emosi.

Kami hanya tersenyum-senyum menahan tawa, akupun pernah mengalami kejadian serupa. Tapi memang tak separah yang terjadi pada kawan ku ini. Aku perhatikan kata julukan yang diberikannya kepada ibu-ibu pemalas ini yakni “pesolek” dan “mati karancak-an”. Dua jenis kata julukan yang sangat menohok jika di perdengarkan langsung kepada orangnya.

Kata “Pesolek” rasanya tak perlu kami jelaskan lagi. Tapi kata “mati karancak-an” aku rasa masih asing bagi orang non-Minangkabau. Berasal dari kata mati dan rancak, rancak berarti bagus, cantik, baik, atau rupawan. Namun dalam hal ini mati karancak-an maksudnya ialah orang yang tak memiliki rasa malu, kepedulian, ataupun perhatian kepada orang lain atau lingkungannya. Dia hanya sibuk dengan dirinya sendiri, bergaya, berlenggak-lenggok, dan sebagainya. Orang-orang semacam ini memperhatikan penampilan mereka, bergaya, atau fashionable. Namun satu kekurangan seperti yang telah kami sebutkan tadi yang dapat dirangkum dalam satu kata “EGOIS”.

*ibu-ibu (min)

sumber gambar: internet


[1] Orang Minangkabau menyebut lauk-lauk penemani makan dengan samba.

[2] Kantong plastik atau kantong kresek

Leave a comment