Pernah pada suatu ketika di masa remaja, kami melakukan suatu petualangan bersama seorang kawan. Namun sebelum itu, sebagai permulaan, engku dan encik izinkanlah kami untuk menceritakan latar belakangnya terlebih dahulu.
Kami tinggal pada sebuah kampung yang berjarak sekitar 12 Km sebelah timur laut Kota Bukittinggi. Terlatak di kaki Bukit Barisan. Pada masa kami remaja, kebanyakan anak-anak usia sekolah SMA melanjutkan sekolah mereka di kampung kami. Sebab beberapa tahun yang lalu telah dibuka oleh orang sekolah SMA di kampung. Hanya beberapa orang yang beruntung melanjutkan sekolah ke Bukittinggi.
Walau enggan kami bersekolah juga di kampung, karena kami telah berkeinginan untuk bersekolah di Bukittinggi, namun orang tua kami memaksa kami untuk bersekolah di kampung. Alangkah kecil hati kami ketika itu, karena hanya bersekolah di kampung. Sedangkan beberapa orang kawan kami bersekolah SMA di Bukittinggi.
Begitulah kami, karena bersekolah di kampung. Ke pasa[1] hanya sekali-sekali pula dan itupun harus dengan alasan yang kuat, kalau tak, maka takkan mendapat izin pergi ke pasa. Maka jadilah kami orang udik, orang kampung, orang dusun. Pergi ke pasa ialah suatu anugerah bagi kami, sungguh menyedihkan memang karena sebaliknya kawan-kawan kami yang bersekolah di pasa hampir tiap hari ke sana dan tidak perlu mengemukakan alasan kuat untuk pergi ke sana. Sebab mereka memang bersekolah di sana.
Ayahanda dan bunda semacam petugas imigrasi, kalau tak dapat alasan yang kuat, maka jangan harap akan mendapat izin pergi ke pasa. Begitulah ketika itu keadaan kami engku dan encik sekalian.
Ketika itu, kira-kira permulaan tahun 2000-an. Salah seorang kawan kami yang sama-sama bersekolah di kampung, mengajak kami untuk pergi bertualang ke Bandar Padang “Kita pergi pagi, lalu pulang petang harinya. Kita coba pula seperti apa rasanya pergi sendiri tanpa dikawani oleh orang tua ataupun kerabat naik ANS[2] ke Padang itu..” bujuknya kepada kami.
Sebuah tantangan yang memancing rasa ingin tahu, siapa kiranya yang hendak menolak. Kamipun menyetujuinya, sebab sudah lama pula terasa oleh kami keinginan yang serupa. Selama ini kalau ke Padang, kami selalu dikawani oleh kerabat. Sekarang, kami akan pergi ke Padang hanya berdua, dua orang anak bujang dari kampung.
Perusahaan Bus ANS merupakan perusahaan bus ternama yang melayani pengangkutan penumpang dari Bukittinggi ke Padang. Dahulu yang dipakai ialah bus besar ini. Namun semenjak pertengahan tahun 2000-an ANS mengganti armadanya dengan bus yang lebih kecil.
Pada masa itu, bagi kami yang tinggal di sudut negeri, pergi ke Padang adalah sesuatu yang luar biasa. Tidak demikian halnya pada masa sekarang, sudah menjadi hal yang biasa. Sebab keadaan zaman pada masa itu memanglah demikian. Belum begitu lancar perhubungan (transportasi) antar kota dan negeri di Minangkabau ini. lagipula, Padang ialah kota terbesar di Minangkabau yang menjadi ibu negeri bagi Sumatera Barat. Amatlah masyhur kota ini dengan segala kehidupan yang dianggap sebagai suatu kemajuan oleh orang-orang. Terutama dalam pandangan kami anak bujang udik yang masih pandir-pandir ini. Dimana kehidupan kami masihlah dikungkung dalam sebuah kampung.
Awalnya kedua orang tua kami menolak, setelah dibujuk sedemikian rupa akhirnya mereka mengizinkan kami untuk berangkat “Berhati-hatila engkau dijalan nanti, pergilah belajar untuk dewasa. Lagi pula nanti engkaupun akan berkuliah di Padang jua. Tak ada salahnya pabila engkau mencoba sambil belajar sekarang..” ujar orang tua kami pasrah. Continue reading “Karena Rokok yang di Maling” →