Ilustrasi Gambar: Internet
Dahulu sekali, tatkala kami masih duduk di bangku perguruan tinggi. Tatkala fikiran kami dan kawan-kawan dirasuki dengan berbagai pemahaman. Tatkala jiwa ini masih menggelegak, nafsu (emosi) tak dapat dikendalikan. Dahulu sekali tuan..
Pada suatu ketika di masa dahulu, kami dan beberapa orang kawan bercakap-cakap bertukar fikiran. Banyak perkara yang kami perbincangkan, bak para pandeka yang sedang bermain pencak di gelanggang permainan. Kami bersilat lidah, beradu pendapat, saling menyalahkan lawan bicara, dan membenarkan pendapat sendiri. Sungguh suatu masa-masa indah nan jenaka, tak patut untuk dilupakan, lebih patut lagi untuk dikenang dan diambil pelajaran darinya.
Kami berkumpul di rumah sewaan (kos) di Bandar Padang, menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri di bandar ini. Sebuah perguruan yang sangat harum namanya di Minangkabau dan Pulau Andalas. Pada menjelang tengah malam, dimana seharusnya sebagai manusia kami sepatutnya berangkat keperaduan guna merehatkan diri guna menghadapi esok hari yang penuh akan pertarungan. Namun justeru tidak, hati dan jiwa anak muda selalu hidup, sangat payah untuk diistirahatkan, walau terkadang badan telah mengeluh.
Setelah memperbincangkan berbagai macam perkara kekinian, menyangkut kehidupan masyarakat di republik ini. Maka selanjutnya, secara perlahan percakapan kamipun mulai beralih kepada suatu peristiwa sejarah yang menimpa negeri ini, Minangkabau. Penyulutnya ialah perkara ideologi politik; liberal, sosialis, komunis, dan Islam.
David Syarif merupakan kawan kami yang belajar di jurusan sastra, beliau tiba-tiba berujar agak keras tatkala ideologinya disenggung. Bak tersengat kalo dia berujar “Orang Minang sungguh pandir sekali, apa hal? Karena membiarkan nama seorang jendral yang memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dijadikan nama jalan..!”
Kami tercenung, memang benar. Tapi..
Sebelum kami menjawab, Nazir Akmal salah seorang kawan kami berasal dari jurusan sejarahlah yang menjawab “Ah.. tak tahukah engku bagaimana sejarah pemberontakan tersebut. Engku tampaknya tak mendalami betul sejarah kelu yang menimpa Alam Minangkabau..” Continue reading “galodo th.58” →