Ilustrasi gambar: Internet
Dahulu semasa masih remaja, orangtua kami pernah mengajari kami perihal cara-cara hidup bermasyarakat, yakni cara menghadapi orang. Mereka berkata:
“Kalaulah nanti di suatu masa nanda bersua dengan orang-orang yang keras hatinya, kasar watak dan sikapnya, janganlah ananda lawan. Niscaya mudharatlah yang akan ananda dapatkan. Orang semacam ini, walau mereka berpendidikan tinggi, lulusan dari universitas ternama, ataupun berasal dari keluarga yang baik-baik. Namun pada dasarnya banak (otak) mereka tidaklah terisi. Hati mereka dipenuhi oleh hawa nafsu dan kebencian, jiwa mereka kerdil, orang-orang semacam ini derajatnya hampir mendekati derajat hewan. Diam adalah sikap yang lebih baik, mungkin mereka akan menganggap kita lemah dan kalah. Tapi itu hanyalah sekedar anggapan mereka, sebab orang banyak jualah yang akan menilainya. Orang-orang yang berakal dan terpelajar akan dapat membedakan itu semua. Melawan kekerasan dengan kekerasan akan mendatangkan malapetaka bagi kita, terutama bagi hati kita, sebab hati kita juga ikut rusak karenanya. Janganlah ananda berkecil hati dan janganlah lelah untuk terus bersabar sebab suatu masa kelak Allah Ta’ala jualah yang akan membalas semua perlakuan buruk yang kita terima. Jikalau hati seseorang telah teriba dikarenakan sikap kita, maka suatu masa kelak akan ada-ada saja malapetaka yang akan datang menghampiri. Oleh karena itu janganlah ananda bersikap kasar kepada orang lain, apalagi menyinggung atau membuat hati orang teriba dikarenakan sikap dan tingkah laku ananda..”
Kami terkenang kembali akan petuah tersebut tatkala kami mendengar suatu perselisihan yang dialami oleh seorang kawan kami di kantor tempat kami bekerja. Penyababnya ialah kesalah pahaman dengan salah seorang kawan yang hampir saja berujung perkelahian. Sungguh sangat memalukan, hampir berkelahi hanya dikarenakan perkara sepele. Ketika itu kawan kami hanya diam, tak menanggapi. Kami terkejut (shock) sebab orang yang kami kira berpendidikan tinggi, memiliki jabatan pula di kantor kami, serta lebih tua umurnya dari kami. Orang semacam ini rupanya kalau mendapat masalah cepat naik darahnya dan menantang orang yang dihadapinya untuk berkelahi.
Disini kana kami coba terangkan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Sebab untuk menghindari menggunakan kata kawan. Kami khawatir tuan akan kesusahan membedakan antara kata “kawan” bagi kawan kami, dan “kawan” sebagai kata ganti untuk dua orang lainnya. Silahkan tuan simak kisahnya..
Ilustrasi gambar: Internet
Sebenarnya kami telah mendapat kabar perihal watak dan karakter dari kawan kami ini sebelumnya. Namun apalah hendak dikata, masa perkara ini terjadi terlupakan oleh kami hal tersebut. Maka terjadilah malapetaka yang seharusnya dapat kami hindari. Sebenarnya unsur penyebab dari kesalah pahaman ini tidak hanya satu akan tetapi ada beberapa. Salah satunya ialah karena ketika permasalahan ini terjadi salah seorang kawan yang ikut datang bersama kawan kami ini yang sebelumnya memang telah lama kurang senang dengan kami juga ikut menambahi (meprovokasi). Mungkin hal tersebutlah yang menyebabkan keadaan menjadi tambah panas, selain memang karena watak dan tabi’at dari kawan kami yang pertama tadi.
Kawan kami yang kedua memiliki watak dan tabi’at seperti anak-anak gaul di Jakarta. Menyukai gaya hidup hedonis, kepada kawan-kawan dia selalu menjual cerita perihal pengalamannya dalam dunia malam di Jakarta. Cara bicaranya juga selalu meninggi, memandang rendah orang-orang disekitar yang belum pernah mengalami apa yang dialaminya. Dia menganggap bahwa pengalaman hidupnya itulah yang terbaik dan pantas untuk dikagumi. Namun yang terparah dari ini semua ialah mulutnya yang seperti perempuan. Mulutnya manis, mudah bergaul untuk orang-orang yang baru dikenalnya. Oleh karena itulah makanya dia ditempatkan dibagian yang memang menuntut pegawainya untuk selalu ramah dan sopan kepada para tamu-tamu kami (tamu pemda). Mulutnya seperti perempuan tuan, nyinyir, tajam, menusuk, dan penuh prasangka.
Apa yang menyebabkan kawan kami yang kedua ini tidak senang kepada kami? Tak lain ialah karena perbedaan alam tuan. Kami merupakan anggota “Laskar Berjanggut”, orang-orang seperti kami telah terlanjur dicap sebagai radikalis, fundamentalis, ataupun yang terparah ialah teroris. Sangat berat sekali tuan. Sebab mereka memandang sama saja semua orang berjanggut. Sudah sering kami dilecehkan, didiskriminasi, dan lain sebagainya. Hingga kini kami masih terus berdo’a semoga kesabaran ini janganlah sampai habis hendaknya.
Itulah yang terjadi pada hari itu, dua orang yang berjiwa kerdil yang harus kami hadapi. Yang satu bertabi’at panas dan yang satunya lagi memendam amarah kepada kami. Hanya karena perkara sepele mereka menyerang kami dengan segala kebuasan yang ada pada diri mereka. Kami terkejut dan heran, apakah benar yang kami hadapi ini seorang yang berstatus sebagai seorang pegawai? Apakah mereka lupa bahwa berkelahi merupakan pantangan bagi seorang pegawai? Sangat besar akibat yang harus ditanggung oleh seorang pegawai yang berani-beraninya bersikap demikian. Tak patut, tak patut bagi seorang pegawai dan lebih tak patut pula dengan orang dengan tingkat pendidikan seperti mereka. Continue reading “Menahan hati..” →