Ikhtiar untuk 2 Desember 2016

Gambar: Disini

Gambar: Disini

Unjuk rasa tanggal 4 November 2011 (411) nan silam telah menyiutkan nyali Kaum Munafiq dan Kafirun. Cemas mereka melihat umat Islam dari berbagai perkumpulan, aliran pemahaman, dan latar belakang dating berkumpul di Jakarta. Tak hanya itu, kaum non muslimpun ikut bergabung dalam unjuk rasa akbar ini. Satu tuntutan yakni hukuman bagi sang penista agama, dimana sepekan kemudian keluar keputusan menetapkan Yang Bersangkutan menjadi tersangka. Walau telah ditetapkan menjadi tersangka, kericuhan justeru bertambah, karena Yang Bersangkutan tidak ditahan oleh pihak nan berwenang. Alasannya karena Yang Bersangkutan tidak akan melarikan diri ataupun menghilangkan barang bukti. Sungguh terpana orang-orang, kebanyakan tersangka apakah itu dari kalangan rakyat biasa ataupun pejabat langsung ditahan apabila sudah mendapat predikat “tersangka”. Yang membuat heran lagi, disaat Yang Bersangkutan menjalani pemeriksaan, dia diiringi oleh banyak politisi dari salah satu partai politik yang selama ini dikenal amat keras penentangannya terhadap Islam.

Kemudian, ranah maya mulai disibukkan dengan perdebatan mengenai Unjuk Rasa 411 dan predikat “tersangka” bagi penista agama yang tiada dikenakan tahanan. Niat baik tampaknya tiada ditunjukkan oleh Yang Bersangkutan, tatkala diwawancarai oleh salah satu stasiun televise asing dengan mudahnya dia berkata “Saya tidak tahu, saya benar-benar tidak tahu. tapi saya percaya presiden tahu dari intelijen, saya percaya mereka tahu. Itu tidak mudah, Anda mengirim lebih dari 100.000 orang, sebagian dari mereka, JIKA ANDA MELIHAT BERITA ITU, MENGATAKAN MEREKA MENDAPAT UANG Rp. 500.000..

Suatu pernyataan yang mengejutkan, sayang sekali dia tidak menyebutkan berita mana dan media apa yang memberitakannya. Dia jua menyebutkan “saya percaya presiden tahu dari intelejen, saya percaya mereka tahu..” bagaimana dia dapat berucap demikian, apakah karena dia tidak yakin atau sebaliknya dia benar-benar yakin. Kelau benar dia yakin maka tentunya dia memiliki akses khusus ke presiden dan presiden begitu baik hatinya untuk membeberkan informasi sepenting itu kepada dirinya.

Sebenarnya sebelum Yang Bersangkutan melontarkan tuduhan itu, tuduhan serupa sudah dilontarkan oleh salah seorang pemuka agama lain. Bahkan sang pemuka agama menganjurkan agar Unjuk Rasa 411 diaudit, hal mana mendapat tantangan “Silahkan diaudit..”. Kata orang prasangka kita mencerminkan kualitas diri, apabila orang kita tuduh bajingan maka yang menuduh sebenarnya mengungkapan refleksi dirinya yakni bahwa dirinyalah yang bajingan. Kata orang lagi dengan bahasa nan lain “Ucapan dan penilaian kita ialah mencerminkan kualitas diri kita..” yang lain mengeluarkan pandangan “Bagi seorang politikus amatlah susah mengumpulkan orang sebanyak itu, karena mereka haris $%#&*.

Bercakap soal presiden, sungguh gemas hati orang-orang melihatnya karena disaat demo berlangsung, sang pemimpin Negara itu justeru pergi meninjau proyek di Bandara Soekarno Hatta. Bermacam ragam tanggapan orang, sungguh sangat mengherankan tatkala “malu” sudah menjadi barang langka di negeri ini. Ada yang tersenyum, mencemooh, dan lain sebagainya. Sungguh aneh, padahal dahulu para pembakar masjid justeru mendapat undangan dari dirinya.

Satu kegemasan belum usai, kegemasan lainpun muncul kemudian yakni terjadinya peledakan bom pada sebuah gereja di Samarinda-Kalimantan. Dan apabila target peledakannya ialah rumah ibadah penganut agama selain islam maka tersangkanya sudah pasti —– dimana hal ini semakin menjadi-jadi tatkala pelaku dikatakan memakai kaos dengan tulisan Jihad The Way of Life. Konon kabarnya seorang anak balita yang menjadi korban akhirnya meninggal.

Berselang beberapa pekan kemudian, terdengar oleh kami pada beberapa kota digelar semacam pengajian yang bertujuan untuk memupuk semangat ke-Bhinnekaan. Kami tiada ikut hanya mendengar kabar saja, dan kami tanyakanlah kepada kawan yang ikut. “Isi ceramahnya sangat bagus..” kata kawan kami “Mengungkapkan hadis-hadis yang disembunyikan..”.

Yang sangat digaris bawahi oleh kawan kami ini ialah ucapan si penceramah “Kita wajib patuh kepada pemimpin, se-zhalim-zhalimnya ia asalkan ia masih mengerjakan shalat maka kita wajib untuk patuh..” jelas kawan tersebut “Dia melandaskan pendapatnya itu kepada beberapa hadis yang disembunyikan selama ini..”

Kami terkejut karena pernah mendengar pernyataan serupa itu dari para ulama sebelumnya. Bedanya ialah mereka bukan ulama dari negeri ini melainkan para ulama di negeri yang masih menganut system kerajaan dimana legitimasi dari ulama dan dalil agama sangat mereka perlukan dalam melanggengkan kekuasaan mereka atas rakyat.

Mengenai permasalahan ini masih dapat diperdebatkan karena banyak dalil-dalil lain yang dapat dipergunakan sebagai penyanggah. Setidaknya bagi orang Minangkabau dan Melayu telah lama memegang falsafah “Raja Adil-Raja Disembah, Raja Lalim-Raja Disanggah” Namun nan membuat heran ialah tatkala ditanya perihal si penceramah, serupa apa ia kawan kami menjawab “Berjanggut dan memakai jubah (gamis) serupa orang dari aliran Islam Murni itu..” maka tersenyum sajalah dibuatnya.

Kini, umat Islam semakin gemas, pada hari Jum’at tanggal 2 Desember 2016 ini direncanakan akan diadakan kembali Unjuk Rasa Akbar. Segala daya upaya dikerahkan untuk menghalangi, apakah itu di dunia maya maupun di dunia nyata. Mulai dari himbauan dari pemerintah dan beberapa orang Oknum yang Merasa dan Mengaku Ulama, sampai kepada ancaman terhadap perusahaan bus apabila menerima tawaran untuk membawa peserta aksi Unjuk Rasa ke Jakarta, maka izin usahanya akan dicabut.

Nan paling membuat sekalian umat Islam gemas ialah beberapa orang yang bergelar Kyai dan merasa paling tahu dan faham agama mengeluarkan fatwa “Bahwa sebuah perkara Bi’ah apabila shalat Jum’at dilakukan di jalan raya..” hal ini karena mengingat peserta unjuk rasa itu yang jumlahnya banyak itu berniat akan melakukan shalat Jum’at di jalan raya.

Memanglah semenjak dahulu para Oknum Ulama itu terbagi kepada kedua golongan, ada yang menjadi kaki tangan penguasa dan ada pula yang memelihara objektifitas dan sikap kritis mereka dalam berhadapan dengan para penguasa. Golongan terakhir sebagian besar nasib mereka teraniaya.

Pada masa sekarang umat Islam semakin cerdas dan kritis, terkadang fatwa dan kelakuan oknum ulama pada satu daerah dianggap mencerminkan kelakuan ulama secara keseluruhan. Padahal cara pemahaman dan didikan yang didapat berbeda-beda. Gelar terhadap para ulamapun berlainan pada tiap daerah. Di daerah kami kerap digunakan kata Tuanku atau Buya.

Demikian pula dengan perangai media, terutama media yang dimiliki oleh para kapitalis, apakah itu elektonik, cetak, maupun online, bahkan pada beberapa penyedia layanan acap memunculkan iklan atau berita yang berusaha mempengaruhi alam fikiran umat Islam. Keberpihakan serupa ini, apakah itu intitusi negara ataupun swasta bukannya menjernihkan melainkan semakin membuat keruh. Rasa sakit hati umat Islam akan semakin menjadi-jadi.

Semoga kita semakin arif dan mendalami ajaran agama kita serta tidak gentar dalam menghadapi tekanan dari sesiapapun, termasuk penguasa.

Leave a comment