Kisah Gajah Terbang

Ilustrasi Gambar: Internet

Ilustrasi Gambar: Internet

Buku kedua Hanum Salsabila Rais berjudul Berjalan di Atas Cahaya yang merupakan lanjutan dari buku 99 Cahaya di Langit Eropa. Buku ini terdiri atas beberapa kisah yang tidak kesemuanya ditulis oleh Rangkayo Hanum melainkan terdapat dua orang kawan beliau yang ikut menyumbangkan kisah pengalaman mereka di negeri Eropa tersebut. Salah satu kisah Rangkayo Hanum yang menarik hati kami ialah perihal Gajah Terbang. Marilah kami coba curaikan kepada engku, rangkayo, serta encik sekalian;

Selama tinggal di Linz, Austria, Rangkayo Hanum mengisi waktu luangnya untuk hal-hal yang bermanfaat, salah satunya ialah dengan memperdalam Bahasa Jermannya.[1] Salah satu cara untuk menambah dan memfasihkan bahasa yang hendak dipelajari ialah dengan mencari kawan yang menguasai bahasa yang hendak kita pelajari. Dalam bukunya Rangkayo Hanum menggunakan kata “Tandem” yang artinya kira-kira sama dengan “perpasangan”.

Rangkayo Hanum mendapat kawan seorang perempuan Cina yang bernama Encik Xiao Wei yang telah tinggal di Austria semenjak umur lima tahun. Encik Xiao Wei sendiri berumur 22 tahun dan sedang menjalani perkuliahan pada semester dua. Kisah menarik ini terjadi pada pertemuan mereka yang keenam di sebuah kedai atau orang sini menyebutnya dengan sebutan Café yang dengan sesukanya diubah oleh orang Indonesia menjadi kafe.

Rangkayo Hanum telah lama menyimpan rasa ingin tahu perihal Encik Xiao Wei “Kenapa engkau berkenan berkawan dengan perempuan berjilbab serupa saya..?” demikianlah isi hati Rangkayo Hanum.

Pertanyaan itulah yang disampaikan pada pertemuan keenam ini. Encik Xiao Wei memberi jawab dengan menceritakan sebuah kisah “Pernahkah engkau mendengar kisah perihal Gajah Terbang?” tanyanya kepada Rangkayo Hanum, yang ditanya menggeleng keheranan.

“Cobalah engkau bayangkan pada sebuah jalan yang ramai, tiba-tiba ada seseorang yang berseru dengan keras ‘tengoklah, ada gajah terbang di langit..

“semua orang mendongakkan kepalanya ke arah telunjuk engku yang berteriak. Namun mereka tiada melihat gajah terbang serupa yang diserukan. Kemudian si engku itu berseru kembali ‘Ya ampun, apakah engku, rangkayo, serta encik sekalian ini memiliki penyakit matakah sehingga tiada dapat melihat gajah yang sebesar itu terbang di langit?’ Continue reading “Kisah Gajah Terbang”

Si Elang

Masihkah engku dan encik sekalian ingat dengan kisah sebelum tidur yang kami ceritakan beberapa masa yang lalu. Kisah perihal sekelompok binatang yang melakukan rapat guna menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di antara mereka. Sekelompok binatang yang dipimpin oleh seekor merak betina yang bernama Rangkayo Merak Jinak. Sekelompok binatang keras kepala yang khas dengan sifat kebinatangan mereka yang tak hendak berubah.

Nah, engku dan encik sekalian. Sebagaimana kisah kami yang telah lalu, diantara binatang-binatang tersebut terdepat sekor binatang yang pendiam. Tidak pandai menjalin perhubungan dengan binatang lainnya. Tinggal menyendiri di sarangnya, hanya terdapat dua ekor kelinci dan satu ekor kuciang aia (berang-berang) yang menjadi jirannya. Binatang lainnya membuat sarang jauh dari sarang milik binatang ini, binatang ini ialah Si Elang.

Marilah kami ceritakan perihal Si Elang agak sedikit. Dia merupakan binatang yang pendiam, pemurung, dan sangat perasa (sensitif). Padahal dia merupakan seekor elang jantan yang cukup perkasa dan diperhitungkan kekuatannya dalam kelompok kecil ini. Dengan kedua ekor kelinci betina ini memanglah dia cukup dekat, namun dengan seekor kuciang aia ini dia terlihat menjaga jarak.

Dahulu induknya pernah sangat berputus asa dengan keadaan anak sulungnya ini. Tidak punya seekor kawan baikpun yang pernah diajaknya bertandang ke sarang milik kedua induknya. Tidak pula pandai berhubungan (berkomunikasi) dengan orang lain, terlalu perasa (sensitif), keras kepala, dan sangat mudah bertukar suasana hatinya (emosinya meledak-ledak).

Ketika disuruh pergi berguru dengan binatang-binatang lain, dia malah sibuk dengan dunianya sendiri. Kawannya sibuk bermain sesama mereka, tatkala mendapat waktu untuk berehat dari Tuanku Guru mereka. Si Elang malah terbang kembali ke sarang induknya menanti waktu rahat usai. Memanglah sebagai seekor elang memudahkan ia mencapai tempat yang jauh dengan hanya beberapa kali kepakan sayapnya. Sangat berbeda dengan binatang lainnya yang tidak memiliki sayap, atau ada binatang yang lain yang juga memiliki sayap namun tidak dapat terbang.

Begitulah Si Elang, dia sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk dengan keinginan dan cita-citanya sendiri yang semakin dipupuk oleh kitab-kitab yang dibacanya. Kitab-kitab yang menjadi kegemarannya ialah kitab-kitab yang menerangkan kisah kehidupan masyarakat zaman dahulu. Apakah itu manusia ataupun binatang, terkadang apabila rehat, dia tidak terbang pulang ke sarang induknya melainkan sibuk menghabiskan waktu di dalam perpustakaan milik Tuan Gurunya.

Itulah Si Elang, dia menjadi asing bagi makhluk lainnya. Seekor binatang yang pendiam dan bahkan ada yang beranggapan dia makhluk yang suka mementingkan diri sendiri (egois). Si elang yang pendiam, si elang yang egois.. begitulah kata mereka. Terkadang menjadi gunjingan bagi binatang lainnya, Si Elang tahu akan hal itu namun dia tak hendak memberi balas sebab tak ada guna berurusan dengan binatang serupa itu. Continue reading “Si Elang”

Kisah Salah seorang Tabi’in, Shilah

Tegurlah dengan Santun

 

Pada suatu hari salah seorang tabi’in yang bernama Shilah bin Assyam al Adawi melakukan perjalanan dengan beberapa orang sahabatnya. Mereka berpapasan dengan seorang pemuda tampan yang berjalan dengan congkaknya sambil membiarkan pakaiannya terjulur menyapu tanah. Sahabat-sahabat Shilah ingin memberikan pelajaran kepada pemuda tersebut dengan lisan atau dengan tindakan yang tegas, namun Shilah menyela “Biar aku saja yang menegurnya..”.

Beliau menghampiri pemuda tersebut, kemudian beliau berkata dengan ramah dan lembut layaknya seorang ayah berkata pada anak yang disayanginya, “Wahai putera saudara ku, aku ada perlu dengan mu..”

“Ada perlu apa gerangan wahai paman” jawab si pemuda

“Angkatlah pakaian bawahmu, sebab itu lebih menjaga ketakwaan mu kepada Allah dan lebih dekat dengan sunnah Nabi mu” ujar Shilah

“Baik dengan senang hati..” jawab si pemuda, kemudian dia pun membenahi pakaiannya.

Shilah berkata kepada para sahabatnya “Itulah cara yang lebih baik daripada yang kalian kehendaki. Andai saja kalian memukul dan mengumpatnya, tentulah dia akan balas memukul dan mengumpat kalian, sedangkan pakaiannya tetap terjulur menyapu tanah.” Continue reading “Kisah Salah seorang Tabi’in, Shilah”

Tak Berpendirian

Kuciang Aia

Entah telah berapa kali terjadi di republik ini, boleh dikatakan tiap tahunnya selalu terjadi pertikaian. Apakah itu awal puasa ataupun awal Syawal. Pertikaian abadi ini selalu terjadi antara Pemerintah yang dikatakan sebagai Amirul Mukminin dengan Muhammadiyah. Kekuatan kedua belah fihak sesungguhnya tidaklah seimbang. Sebab fihak Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama RI bersekutu dengan berbagai macam organisasi Islam lainnya. Sekutu utamanya ialah PBNU, walau tidak semua warga NU pula yang mengikuti pengumuman pemerintah.

Muhammadiyah terkadang berjalan sendiri, apabila mujur ada organisasi lain yang menemani. Pabila tidak maka kenyanglah Muhammadiyah dengan hujatan sebagai “Perusak Persatuan Umat”. Namun walaupun demikian, keteguhan Muhammadiyah ini terkadang mendatangkan simpati. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua yang mengikuti pengumuman dari Muhammadiyah merupakan warga Muhammadiyah.

Kami terkenang kembali akan peristiwa tahun kemarin, dimana Muhammadiyah lebih cepat berhari raya dari pada pemerintah. Maka banyaklah kawan-kawan kami yang mengikuti pengumuman 1 Syawal dari Muhammadiyah. Pada hal mereka bukan warga Muhammadiyah, melainkan “umat tanpa pendirian”. Pabila ditanya mereka menjawab bahwa tidak ingin mengikuti orang-orang salah, keliru, dan lain sebagainya. Dimana ungkapan tersebut mereka dapat dari ucapan orang-orang yang ada di tivi.

Namun pada puasa tahun ini (2012), mereka yang lebaran kemarin dahulu mengikut Muhammadiyah menjadi berbalik. Kali ini mereka menuruti pengumuman dari “Amirul Mukminin”. Begitulah kata mereka bangga, sambil membusungkan dada. (Pada hal yang tinggal di dada mereka hanyalah rangka..). Continue reading “Tak Berpendirian”

Catatan Seorang Kawan dari Malaysia

Gambaran Awal Tentang Malaysia

 

Seorang kawan kami baru saja pulang bertandang dari Malaysia. Beliau ini ke Malaysia bersama beberapa orang kawan dan atasannya di kantor tempat beliau bekerja. Ini merupakan pengalaman pertamanya ke Malaysia, cobalah tuan, puan, engku, dan encik simak kisahnya. Bagi sebagian dari engku mungkin bukan cerita baru, tapi cobalah engku simak jua. Sebab tak ada salahnya kita mendengar kisah yang sama dari orang lain. Setidaknya kita dapat memahami sudut pandang dirinya.

Malaysia, sebagian kaum nasionalis sekuler sangat benci mendengar nama negara yang satu ini. Maklumlah, di negara ini (Indonesia) segala hasutan, fitnah dan persengkongkolan sangat mudah sekali ditemui. “Negara ini negara bebas” kata mereka. Sudah menjadi kelaziman di negara ini, sudut pandang orang “Jakarta” menjadi sudut pandang nasional. Seolah-olah Indonesia ialah Jakarta.

Namun tidak demikian bagi kami masyarakat di daerah, kami hidup berbeda dengan cara orang Jakarta hidup. Kehidupan yang kami jalani tidaklah sama, engku. Berbeda dengan kalian yang berada di pusat dari Republik ini. Bagi kebanyakan dari kami yang memahami adat istiadat dan sejarah negeri kami, tidak semudah itu bagi kami mengamini ucapan kalian. Kecuali bagi kebanyakan anak muda Minangkabau sekarang yang telah terserabut dari akar budaya leluhurnya. Mereka akan terpengaruh dengan kalian. Kebanyakan generasi muda Minangkabau sekarang dibesarkan sebagai orang Jakarta, bukan sebagai orang Minangkabau. Hidup sebagai orang Minangkabau telah menjadi minoritas dan sangatlah susah di Alam Minangkabau yang katanya bertuah ini.

Malaysia adalah sebuah negara Melayu yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negaranya. Berlainan dengan Indonesia tentunya. Wilayahnya terbagi dua, Malaysia Timur terletak di bagian utara Pulau Borneo (Kalimantan) sedangkan Malaysia Barat terletak di ujung Tanah Semenanjung atau yang lebih dikenal dengan Semenanjung Malaya. Penduduknya beraneka ragam, tidak semuanya Melayu melainkan terdapat juga beberapa orang Cina dan India. Perbandingan jumlah penduduk Melayu dengan Non Melayu ialah sekitar 60% untuk Melayu, selebihnya ialah etnis lain.

Keadaan semacam ini pernah menimbulkan ketegangan dalam Negara Malaysia. Kebanyakan orang Cina disini menunjukkan identitas Kecinaan mereka, berbeda keadaannya dengan Indonesia. Hampir semua orang Cina fasih berbahasa negeri mereka. Dalam keseharian mereka dengan keluarga, mereka bercakap berbahasa Cina, kemudian dilanjutkan dengan Inggris dan baru kemudian Melayu. Continue reading “Catatan Seorang Kawan dari Malaysia”

Harta di Ujung Pelangi

Ujung Pelangi

 

 

Pernahkah engku melihat pelangi, tentunya pernah bukan. Melihat pelangi merupakan perkara yang langka, sebab taK muncul tiap harinya. Munculnya pabila hujan turun di kala cuaca cerah atau kata orang kampung bilang ujan paneh. Tidak selalu ada ujan panas, kadang-kadang.

Tahukah engku dalam masyarakat Asia Timur dikenal sebuah legenda yang bernama Siluman Rubah Berekor Sembilan. Konon menurut yang ampunya cerita, pabila hujan dikala hari cerah merupakan suatu pertanda Siluman Rubah sedang menangis. Sungguh cerita rakyat yang menarik.

Namun bukan perkara cerita rakyat dari Asia Timur yang hendak kami bahas pada tulisan kita kali ini. Kami akan mencoba membagi salah satu pengalaman hidup yang jarang kami jumpai. Yakni melihat ujung pelangi, pernahkah engku melihat ujung pelangi?

Pernah ketika kanak-kanak dahulu kami mendapat sebuah cerita dari sebuah majalah kanak-kanak, kalau tak salah nama majalah tersebut ialah “BoBo..”. Ceritanya tentang seorang pemuda dari Negeri Cina yang terkenal akan kepandirannya. Kami tidak begitu dapat mengingat dengan baik kisah tersebut, namun kira-kira begini kisahnya:

Pada suatu masa di Negeri Cina, hiduplah seorang pemuda yang amat sederhana. Selain sederhana dia juga pandir. Pada suatu ketika dia melihat kawannya yang pulang dari merantau, rupanya hidupnya telah makmur dengan harta. Seketika bertanyalah Si Pandir ini kepada kawannya, perihal harta kekayaan yang didapatnya. Sang kawan yang telah maklum akan keadaan Si Pandir, seketika muncul niat usil dalam fikirannya, diapun berkata “Segala harta yang ada pada ku ini, ku dapat dengan mencari emas yang terdapat di ujung pelangi.” Continue reading “Harta di Ujung Pelangi”