Ilustrasi Gambar: Internet
Barhari raya bagi kita umat Islam sebenarnya memiliki banyak makna, makna yang paling utama dan sangat penting sesungguhnya ialah memperpanjang tali silaturahim. Memang demikianlah yang diajarkan oleh nabi kita, oleh agama kita. Idul Fitri ialah masanya untuk saling menziarahi, bertanya kabar, dan saling memaafkan kekhilafan yang pernah terjadi dalam pergaulan hidup kita.
Bagi orang Minangkabau, Idul Fitri ialah kesempatan yang langka. Sebab pada masa ini, dapat kita saksikan salah satu pertautan antara agama dan adat, seperti yang telah dikatakan oleh orang tua-tua di kampung kita bawah sesungguhnya Agama dan Adat itu ialah Berbuhul Mati.
Pada saat hari raya inilah kita dapat datang ke rumah karib-kerabat. Saling bersuka-ria, saling memaafkan, saling bertanya kabar, bersenda-gurau, serta makan dan minum di rumah dunsanak. Engku dan encik tentunya akan bertanya “Memangnya hal serupa itu tak boleh dilakukan pada hari lain engku..?”
Kami akan menjawab ”Tentunya boleh engku dan encik sekalian, namun tentulah rasa dan makna yang dibawa berbeda pula. Biasanya ziarah ke rumah kerabat dilakukan oleh keluarga kita yang jauh di rantau. Tatkala mereka pulang, maka mereka akan mendatangi rumah karib-kerabat bertanya kabar dan bersilaturahim..”
Itulah yang berlaku di luar hari raya, namun pada saat hari raya tidak hanya kerabat dari rantau saja yang pergi bertandang ke rumah kerabat di kampung. Melainkan sesama kerabat yang tinggal di kampungpun akan saling menziarahi. Apabila hal tersebut dilakukan di luar hari raya, maka orang-orang akan bertanya-tanya “Ada apa pula, apa gerangan yang telah berlaku. Kenapa dia menatiang pinggan pergi ke sana..?”
Terkadang dua hari pada Idul Fitri tidaklah cukup bagi kita untuk menziarahi rumah karib-kerabat tersebut. Terkadang bertukuak[1] juga dengan hari ketiga, keempat, atau kelima. Kalau di kampung kami ada yang disebut orang dengan “Hari Rayo Anam”[2] yang jatuh pada tujuh hari selepas hari pertama hari raya. Pada Hari Raya Anam inilah rumah kesempatan untuk mendatangi rumah kerabat yang tidak sempat diziarahi. Biasanya kaum ibulah yang banyak berkunjung ke rumah kerabat.
Terkadang tidak jua cukup hari yang sepekan itu, maka ada juga yang datang pada hari ke delapan dan selanjutnya. Hal ini karena di kampung kami ialah “Wajib Hukumnya untuk Makan” di rumah kerabat. Apabila tak hendak makan, maka kita akan kena marah, pertanda hubungan telah jauh. Biasanya para nenek, maktuo, ataupun orang-orang tua yang masih memegang teguh Adat Lama akan merasa tersinggung apabila kita tidak mengecap nasi di rumah mereka. Continue reading “Berhari Raya bukan Berpesiar..” →