Perlontean di Bukit Tinggi

PIcture: Here

Dikutip dari rantaunet@googlegroups.com, Sabtu, 19/07/2008 19:48 WIB

Remang-Remang Kehidupan Malam di Bukittinggi
oleh: Habib

Suasana malam di Jam Gadang Bukittinggi, ada kehidupan lain disudut-sudut kota yang tak terbaca. Hawa dingin, malam, pekan silam benar-benar menidurkan Bukittinggi. Malam hanya menyisakan kelam.

Tak banyak terlihat anak muda nongkrong di tempat hiburan, tepatnya disebut cafe di kawasan Jalan A. Yani. Kampuang Cino tempat cafe-cafe melayani turis.

Para teroris di dalam sidang pengadilan subversif bulan Januari 2009 di Jakarta mengakui, bahwa mereka membatalkan peledakan bom karena di kafe terlihat ada wanita Muslim yang berjilbab. Untunglah Allah masih melindungi kalian dari bom teroris. Tantu pangalaman iko jadi pelajaran, hanya Keledailah yang bisa terperosok ke lubang yang sama. Orang Minangkabau bukanlah Keledai.

Kampuang Cino tempat cafe-cafe melayani turis.
Untunglah Allah masih melindungi kalian dari bom teroris.
Tantu pangalaman iko jadi pelajaran, hanya Keledailah yang bisa terperosok ke lubang yang sama.
Orang Minang Kabau bukanlah Keledai.

“Kalau bukan malam minggu memang agak sepi,” kata seorang penjaga cafe.

Hawa Bukittinggi yang basah dan terpaan udara dari beberapa buah kipas angin di ruang yang temaram di dalam cafe itu, membuat dingin terasa kian menyayat.

Tetapi kawasan yang satu ini memang tidak pernah sepi.
“Uang tetap masih laku hingga subuh di sini,” kata seorang pengunjung yang mengaku datang dari Payakumbuh. Beberapa bule memang ada dalam cafe itu.

Dan itu adalah pemandangan umum sepanjang malam di Kampung Cina.

Toh, the show must go on.

Tepat tengah malam, dari sebuah kendaraan mewah keluar sesosok pria muda menenteng tas. Penampilannya tak jauh beda dengan pengunjung cafe. Mengenakan baju kaos, berjaket kulit berwarna coklat, dan kaki dibalut sepatu kets. Dandanannya amat santai. Wajahnya segar meski malam sudah beranjak tua.

Pria itu duduk di pojok ruangan, memanggil pelayan, memesan secangkir minuman. Tas yang dia tenteng diletakkan di sudut kursi duduknya. Sesaat mengeluarkan handphone dari saku jaketnya, menekan nomor tujuan pada tuts alat komunikasi kecil itu lalu berbicara beberapa saat. (di jaman kemajuan komunikasi saat ini, para pelacur tidak perlu dikumpulkan di dalam rumah bordil/mencolok, tapi cukup disewakan hotel dan cafe sebagai sarana transaksi … !)

“Abang sudah di sini, dimana sekarang?” kata pria itu.
Terjadi dialog sejenak.
“Oke, sepuluh menit,” kata pria itu.
Handphone mati.
Alat itu dimasukkan kembali ke dalam saku jaketnya. Duduk sesaat. Menyeruput secangkir minuman yang baru dia pesan. ‘Aku makin cinta’ tembang merdunya Vina Panduwinata terdengar melonkolis di sudut-sudut cafe.

Tepat sepuluh menit kemudian, dua gadis masuk cafe. Berkaos oblong lengan panjang. Ketat. Sangat seksi. Satu berwarna biru tua, satunya lagi berwarna ungu.Keduanya melihat kiri kanan. Pria muda tadi yang melihat kedua gadis itu melambaikan tangan. Kedua gadis mendekat. Bersalaman, duduk dan memanggil pelayan. Keduanya juga memesan minuman.

Selanjutnya yang terdengar gelak tawa mereka. Bicara ngalor ngidul ke sana ke mari dan tak begitu jelas. Sesekali terlihat, kedua gadis berusia sekitar 20 tahun itu mencubit nakal si pria. Sementara, di ruangan cafe itu, ada sekitar 8 pengunjung. Juga berpasang-pasangan. Asap rokok mengepul di langit-langit cafe.

Dua puluh menit kemudian, pria dan dua gadis muda itu beranjak.
Membayar minuman lalu keluar cafe. Ketiganya masuk ke dalam mobil jenis Kijang Innova milik si pria, lalu meluncur ke arah utara.

Penasaran, padangmedia.com membuntuti mobil itu. Menumpang taksi yang mangkal di depan cafe. Karena lajunya tidak begitu cepat, mobil itu pun mudah diikuti. Dan, sekitar 15 menit perjalanan, sepanjang 3 km di perbatasan Bukittinggi, mobil itu masuk gerbang sebuah hotel. Langkah terputus.

“Tidak turun, Da? Tidak menginap?,” tanya sopir taksi kepada padangmedia.com.

“Tidak, saya hanya ingin tahu kemana mobil itu pergi,” jawab padangmedia.com.

“Wah, kalau yang seperti gituan di sini biasa, Da. Janjian di cafe-cafe, ujungnya, ya, di hotel,” kata sopir taksi.

Peluang langkah investigasi padangmedia.com kembali terbuka.
Dialog dengan sopir taksi bernama Herman (45), itu pun berlanjut.

“Selain di cafe-cafe, dimana lagi bisa betemu dengan gadis-gadis seperti itu?” pancing padangmedia.com.
“Uda wartawan? Atau anggota (maksudnya aparat-red)?” tanya Herman, si sopir taksi.
“Ah, saya hanya ingin tahu saja,” elak padangmedia.com. Pria yang mengaku orang Padang itu tak lagi bertanya.

Lalu padangmedia.com meminta agar dibawa kembali ke Bukittinggi. Mobil berbalik arah meninggalkan gerbang hotel.
Terjadi dialog-dialog di dalam taksi.

“Kalau uda mau cari gadis-gadis seperti gituan, di Bukittinggi mudah, Da.” kata Herman.

Tanah ulayat/siapa yang dijadikan tempat berdirinya hotel ini … ? Apo indak takuik ka dihaban galodo gunuang Marapi.

 “Oya, mudah gimana?” pancing padangmedia.com lagi.
“Kita balik saja ke cafe tadi. Di depan cafe banyak gadis-gadis muda yang bisa dibawa dan mendekat ketika dipanggil, apalagi mangsanya bawa mobil, karena aksi mereka lebih aman,” ujarnya.

Sepuluh menit kemudian, taksi sampai kembali ke kawasan Jalan A Yani, Kampung Cina. Benar kata sopir taksi. Malam semakin beranjak, semakin ramai kawasan itu oleh sekelompok anak muda, pria dan wanita. Berpakaian necis. Di depan cafe, parkir sederatan sepeda motor. Di pinggiran jalan, mobil-mobil mewah parkir berjejer.

Terlihat ada satu mobil berplat merah. Di dalamya duduk tiga anak muda, satu pria dua wanita. Dan, tak jauh dari cafe, warung-warung penjual nasi goreng, sate maupun pecel lele di kawasan itu ramai ditandangi pembeli.

Taksi parkir tidak jauh dari Jembatan Limpapeh. Di trotoar, beberapa gadis melintas. Berusia muda dan seksi. Beberapa orang di antaranya masuk ke dalam cafe, yang lainnya berdiri di sudut-sudut pertokoan yang tutup dan tempat mobil-mobil parkir.

Sekitar sepuluh menit kemudian, dua gadis mendekat ke arah taksi yang ditumpangi padangmedia.com. “Bang, boleh minta rokok?” kata gadis berambut pirang. Untung saja, sopir taksi memiliki persediaan rokok. Sebatang sigaret merek Sampoerna itu pun diambil dari bungkusnya dan gadis itu membakar dan menghisapnya. Asap rokok mengepul di dalam taksi.

“Di luar dingin, masuk saja ke dalam mobil,” tawar si sopir taksi.
Merasa mendapat peluang, kedua gadis itu masuk. Pintu taksi terbuka dan keduanya duduk di jok bagian belakang.
“Iya, diluar dingin.
” kata kedua gadis itu.
“Ada rencana ke Payakumbuh, Bang?” tanya gadis berambut panjang.
“Payakumbuh? Apa tinggal di sana?” tanya padangmedia.com.
“Iya, kami tadi dari Padang. Singgah di Bukittinggi sebentar, biasalah, kan abang tahu sendiri,” kata gadis berambut panjang sembari tersenyum. Manis.

padangmedia.com menawarkan sopir taksi jalan-jalan. Kedua gadis malah minta dibawa ke sebuah hotel berbintang di kota wisata itu. Untung saja, si sopir taksi cukup berpengalaman soal mengalihkan alasan gadis-gadis itu. Aman.

Di dalam taksi, padangmedia.com berhasil mendapatkan identitas kedua gadis itu. Yang berambut panjang bernama Maya (untuk menjaga etika nama kedua gadis itu disamarkan-red), 29 tahun, dan oleh Laura (bukan nama sebenarnya), 20 tahun, gadis disebelahnya, Maya dipanggil bunda.

Maya sudah pernah menikah, punya satu anak, namun dia ditinggalkan suaminya yang kawin ‘batambuah’. Karena merasa dikhianati, Maya memilih nekat menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK/Lonte) yang mencari mangsa dari satu kota ke kota lainnya.

Di Sumatera Barat, Maya beroperasi di Kota Padang, Kota Bukittinggi dan Payakumbuh.

“Anak saya baru berumur lima tahun dan saya titipkan sama orang lain,” ujar Maya. Wajahnya menunduk.

Sedangkan Laura mengaku baru mengenal Maya yang juga sama-sama tinggal di Payakumbuh. Laura belum menikah dan sering dibawa Maya ke luar kota. Namun, dia mengaku masih menjaga kegadisannya.

Sesaat kemudian, Laura yang selama di dalam taksi itu tampak gelisah meminjam handphone padangmedia.com, lalu mengetik tuts dan mengirim SMS ke nomor tujuan 08136335xxxxx. Karena item terkirim tidak ia hapus, padangmedia.com sempat membaca isi SMS itu.

Bunyinya, “Bang, tunggu telpon aku besok ya. Aku janji tidak bohong lagi. Aku tadi ke Padang dan sekarang di Bukit, kalau abang sempat jemput aku kemari. Balas.”

Entah kepada siapa SMS itu ia kirim. Kalau dari isi, tujuannya pada seorang lelaki. Tak jelas, apakah kakaknya, pacarnya, atau juga ia berbohong kalau sebenarnya gadis itu sudah bersuami. Sampai laporan ini ditulis, tak ada balasan yang diterima ke handphone padangmedia.com. Laura mengaku tidak membawa HP.

Kota Bukittinggi yang kecil tidak membawa jauh perjalanan itu. Hingga akhirnya, Maya dan Laura minta diantarkan lagi ke cafe karena ada orang yang menelpon dan janjian di cafe. Taksi pun berbalik arah menuju kawasan Kampung Cina yang tak pernah sepi, meski dingin malam menjadi saksi bisu remang-remang kehidupan malam di kota itu.

_____________________________

Saran Bagi Pemda:

1. Si Maya, si Laura, Laras dan Murni itu, bekerja sebagai pelacur, pelonte atau mendekatinya. Maya punya anak usia 5 tahun yang harus dibiayainya sedangkan Laura belum punya beban hidup akan tetapi malas bekerja. Murni, mungkin mahasiswi atau pelajar nan tak tau diuntuang/ indak baradat, entahlah.

Mereka orang-orang bodoh yang hanya ingin hidup mewah menikmati galeh Belando dan Japang (bekas penjajah nenek-kakeknya) berupa barang-barang konsumtif yang dipromosikan agen-agen mereka di televisi (selebritis).

Pakaian bermerek, rambut harus dicuci tiga kali sehari dengan obat ketombe, kulit bersun screen, sepatu, tas bermerek dari Paris, kuping disumpal sepanjang hari dengan perangkat headphone, naik-turun Toyota, Honda lalu ke luar masuk hotel berbintang dsb.

Karena tak mampu menghasilkan uang untuk membeli galeh urang maka terpaksalah menjual diri.

Seandainya si Maya berasal dari suatu “nagari” maka dipastikan mamak si Maya orang yang tak mampu pula untuk mengurus/membiayai kamanakannya

Pemecahan masalah: Polisi P.P Bukittinggi perlu mengembalikan/menyerahkan si Maya ke nagarinya (sesuai dengan alamat KTP).

Serahkan kepada mamaknya. Kalau si mamak tak mampu memberi pekerjaan maka masyarakat nagari perlu membantunya. Janganlah bolehkan Maya menjual diri dekat kampuangnya agar pekerjaan serupa ini tidak dianggap normal, apalagi dijadikan model/ditiru oleh ABG lainnya.

Kalaulah melacur itu pilihan pekerjaan Maya, silakan pergi bekerja di rantau dakek yang ada diformalkan dengan sebutan sebagai Pekerja Sex Komersial atau ke rantau jauah semisal ka Phuket, Macao, Belanda dan jangan sekali-kali diakui lagi sebagai anak-kamanakan/anak nagari sepanjang adat oleh Urang kampuang. Jadilah marantau Cino, indak usah mangaku-ngaku sebagai urang awak lai !

Usul: Masyarakat, khususnya pers agar tidak menggunakan istilah PSK untuk menyebut pelacur, lonte, begenggek, telembuk, lontong bagi wanita-wanita semacam ini di Sumbar.

Pekerja adalah orang terhormat yang mendapatkan penghasilannya tidak dengan menjual diri (menjual ginjal atau darah saja dilarang), apapun alasannya. Bekerja sebagai pelacur di hotel berbintang dengan segala kemewahannya bukanlah prestasi yang dibanggakan untuk anak-kamanakan kita, akan tetapi kehinaan bagi kaum-kerabat yang akan disebut-sebut di kemudian hari.

2. Turis asing, hotel, cafe dan pub adalah empat istilah yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Apakah anak nagari yang ber ABS-SBK bisa/mampu mengadaptasi keempat istilah ini sekaligus seperti yang dilakukan penduduk kampung Cina Bukittinggi dan Padang.

Bila tidak bisa/sanggup maka uang yang dihasilkan oleh industri pariwisata yang dipromosikan pemerintah hanya akan bertumpuk/terkumpul di Kampuang Cina

Pemda di Sumatera Barat yang dikuasakan rakyat untuk memberi ijin mendirikan hotel-hotel agar berani bertanggung jawab apabila terjadi pelacuran di tempat-tempat tersebut.

Masih ada (banyak ..!) indusri lainnya yang bisa dikembangkan selain industri pariwisata yang telah dipromosikan besar-besaran di ranah nan den cinto kalau saja kita memiliki ilmu dan wawasan untuk keselamatan anak-cucu/kamanakan.

Referensi fakta:
40 % wisatawan AS yang ke Filipina adalah wisatawan sex (newsticker Metro TV 23 Sept. 2011)
….menurut pengakuan SS pada ANTARA, dia telah bekerja selama tujuh bulan di Kota Padang, sebagai penari Striptis, di dua kafe berbeda, yaitu di Fellas dan Happy Family.
Setiap kali melakukan atraksi striptisnya, SS mengaku menerima bayaran Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. (ANT-276/Z002)

___________________________

Disalin dari: nagari.org

3 thoughts on “Perlontean di Bukit Tinggi

  1. Bgaimana pndapat engku tentang artis gadang ranah minang .. yg ksehariannya suka mmakai baju tpi tlnjang ..dn sikap yg sudah ada kejawa”an tak senonoh ..yg mamlukan bagi kita urang minang serta membrikan image negatif trhadap gadis minang

    1. Maaf engku, telah kami jawab pertanyaan engku ini pada Page Perihal St. Paduko Basa. Kami tiada dapat menjawab karena setelah kami cari-cari tiada bersua. Berkenankah engku memberi kami bahan, data, atau sejenisnya. Silahkan hubungi akun fesbuk kami Sutan Paduko Basa yang ada banner di blog ini. Terima Kasih..

Leave a comment