Puncak Soegai sedang ditutupi awan. Tampak Tulisan SAWAHLUNTO yang bercahaya di atas bukit.
Gambar diambil dari Kampuang Teleng
Beberapa hari yang lalu, kami mendapat sebuah surat elektronik (email) dari salah seorang kawan kami. Beliau bekerja sebagai pegawai di salah satu kota di Sumatera Barat. Dalam suratnya tersebut, beliau mengisahkan mengenai perjalanan bersama kawan-kawan ke salah satu tempat yang menarik di kotanya.
Tujuan utama dari surat kawan kami ini ialah membuat kami bingik[1]. Sebab telah lama kami diminta datang namun belum jua terpenuhi. Kami akui, keinginan dari kawan kami ini telah berhasil dan oleh karena itu kamipun berkeinginan membuat tuan, engku, dan encik sekalian untuk ikut bingik bersama kami.
Mari kita simak kisah dari kawan kami ini,..
Assalamu’alaikum..
Bagaimana kiranya kabar engku di sana, adakah baik? Semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat kesihatan, rezki, dan kelapangan dalam diri engku. Amiin..
Jalan yang telah dicor dengan semen. dapat dilalui dengan onda ataupun oto.
Engku kawan kami yang baik, telah lama kiranya kami meminta engku untuk datang ke kota kami, namun tampaknya engku selalu ada halangan. Apalah hendak dikata, memang begitulah kehidupan ini. Kita hanya dapat berkeinginan dan berencana namun Allah jualah yang menetapkan.
Demi menghilangkan rasa ingin tahu engku, marilah kami kisahkan sebuah perjalanan yang kami lakukan bersama kawan-kawan. Perjalanan ini kami lakukan pada pagi hari di masa cuti yang lalu, sekitar pukul enam lewat. Sebagai perbandingan engku, waktu subuh pada saat sekarang jatuh pada pukul lima lewat. Tampaknya pada permulaan tahun ini matahari memang malas sekali untuk cepat-cepat terbit.
Kami ialah bersembilan, empat orang perempuan dan lima orang lelaki. Dari kesembilan orang tersebut, empat orang merupakan pasangan kekasih (dua pasang). Duhai.. hendak membuat kenangan mereka rupanya di tempat ini.
Tempat yang kami tuju bernama Puncak Polan yang terletak di Kota Sawahlunto, kami sendiri lebih senang menyebutnya dengan nama aslinya yaitu “Puncak Sugai”. Kenapa namanya dapat berganti? Nantilah apabila ada masa akan kami terangkan kepada engku.
Di atas puncak, embun masih menyelimuti.
Janji temu sebelum berangkat ialah pukul enam pagi, ketika itu hari belumlah terang benar. Sepercik cahaya dari ufuk timur telah mulai menyeruak menerangi negeri. Walaupun begitu, lampu-lampu di jalan dan rumah penduduk belum dipadamkan. Beberapa orang bersua dengan kami dijalan, ada yang berlari-lari kecil, mengendara kareta, [2] ataupun sekedar berjalan-jalan ringan bersama beberapa orang sanak keluarga serupa isteri, kakak, ataupun adik.
Kami mulai perjalanan dari Kelurahan Aur Mulyo Kec. Lembah Segar, salah seorang kawan berumah disana. Rupanya mereka telah memiliki rencana hendak berkendara naik onda[3] ke atas puncak. Memang jalan ke atas telah dicor orang dengan semen, walau menanjak dan terkadang agak curam, tak jadi soal. Sebab masih dapat dilalui, namun sikap hati-hati tetap tak boleh lupa.
Kami naik dengan menumpang kepada onda salah seorang kawan. Ini pertama kalinya kami naik ke atas puncak dengan naik onda. Sebelumnya kami selalu berjalan kaki menuju puncak sedangkan onda ditaruh di pinggang bukit.
Engku tentunya bertanya kenapa di pinggang bukit, bukan di kaki bukit?
Tatkala pertama kali kami datang ke kota ini, kami sering terkagum-kagum sendiri. Apa sebab? Continue reading “Ke Poentjak Soegai” →