Ilustrasi gambar: Internet
Karena ke asyikan menonton filem di komputer lipat, tanpa kami sadari magrib sudah hampir menjelang. Dengan sigap sambil mengkutuki diri kami bergegas menuju kamar mandi, hendak mandi. Berharap agar orang di surau janganlah dulu adzan, tundalah barang sejenak.
Tatkala sedang asyik-asyik menggosok badan, maka terdengarlah adzan berkumandang. Terbesit di hati “Ah.. tak usah saja pergi shalat ke surau. Pasti engkau masbuk, tak nikmat masbuk itu..”
Tampaknya akal dan iman tak hendak mengalah begitu saja, dijawab oleh akal pendapat si nafsu ini “Janganlah sampai berfikiran serupa itu, bukankah engkau sendiri yang lalai. Asyik menonton filem hingga lupa akan waktu..” jawab si akal.
Kemudian menimpali pula si iman “Benar, lagipula shalat masbuk itu lebih baik dari pada shalat sendiri. Bukankah sudah terasa oleh engkau betapa nikmatnya shalat berjama’ah – walaupun masbuk – di surau. Dan engkau sendiripun tahu kalau kaum lelaki boleh dikatakan wajib shalat berjama’ah di surau. Dan tambahan lagi, bukankah kalau shalat sendiri di rumah engkau jarang shalat sunat rawatib..?”
Begitulah engku dan encik sekalian. Akhirnya kami pergi jua bergegas ke surau walau tatkala langkah pertama dari kaki kami menuju surau orang telah selesai adzan. Kami berjalan dengan cukup cepat, di jalan kami berpapasan dengan beberapa orang yang juga hendak ke surau. Namun sayangnya mereka menggunakan onda.[1] Sudah sering kami berpapasan dengan orang-orang ini yang rata-rata berusia di atas 50 tahunan. Namun tak pernah sekalipun jua mereka menawarkan tumpangan kepada kami. Sungguh aneh adat orang sekarang..
Sambil berjalan, fikiran kami melayang-layang. Terkenang akan kawan satu rumah kami. Beberapa bulan yang lalu dia menyewa bilik yang telah lama kosong di sebelah bilik kami. Lebih muda dua tahun dari kami, berperawakan tinggi, berisi, dan berparaskan menarik atau kata orang “Tampan Rupawan..”.
Selama sepekan ini dia pergi ke Pakan Baru, ditugasi kantornya untuk mengikuti pelatihan. Biasanya apabila hendak shalat magrib kami selalu pergi bersama. Dahulu sebelum kehadiran dirinya, kami selalu berangkat tepat ketika adzan telah mulai dikumandangkan. Ketika sampai di surau kami masih mendapati Engku Bilal[2] mengumandangkan takbir (adzan) terkahir. Namun semenjak bersama kawan kami ini, kami selalu terlambat dan lebih sering masbuk. Apa hal engku?
Kawan kami ini berpembawaan lambat, bergerak lamban, berjalan lamban, segala lamban. Terkadang kami jemu juga melihatnya, namun apa hendak dikata, sudah pembawaan dirinya. Biasanya, tatkala sebelum adzan kami telah bersiap-siap hendak berangkat. Begitu adzan mulai dikumandangkan Engku Bilal, maka kami segera meluncur ke surau.
Namun semenjak bersama kawan kami ini, ketika orang mulai adzan dia baru mulai bersiap-siap. Memakai kain sarung, memakai baju, menyisir rambut, dan lain sebagainya. Selepas itu dia pergi dahulu berwudhu, alamak.. Continue reading “Karena Kawan” →