Pada suatu petang hari, salah seorang kawan kami datang ke rumah. Hendak bercakap-cakap menyambut petang hari nan cerah ini. Memanglah sangat jarang kami dapati pada masa sekarang ada orang-orang yang menghabiskan petang hari dengan berbual-bual bersama kawan-kawan mereka. Kebanyakan dari orang sekarang ialah menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan atau sudah keletihan selepas pulang bekerja di kantor.
Isteri kami menghidangkan sacangkir kopi untuk kawan kami ini, adapun kami lebih senang dengan secangkir teh. Bukankah pada petang hari serupa ini lebih cocok apabila dikawani oleh secangkir teh? Kebetulan pula isteri kami baru saja membuat goreng pisang batu. Mak Kari baru saja menebang pisang di perak keluarga isteri kami nan di baruah tadi siang.
Sambil memipia pisang goreng yang masih terlalu panas, kawan kami ini berujar “Tahukah engku, kian hari bertambah sakit kepala saya ini dibuatnya..”
“Hah, apa hal engku..?” tanya kami heran.
“Tak tahukah engku, setiap hari ancaman yang dihadapi oleh nagari kita Minangkabau ini bertambah-tambah saja..” terang kawan kami ini.
Kamipun terdiam, kalau maksud kawan kami ini ialah ancaman lahir (fisik) memanglah belum tampak namun apabila yang menjadi ancaman itu ialah akidah, akhlak, serta adat kami Orang Minangkabau maka benarlah apa yang ditakutkan oleh kawan kami ini “Bukankah yang demikian telah berlangsung semenjak dari dahulu engku..?” tanya kami kepada kawan kami ini.
“Hah..! itulah ia. Engku sudah tahu tapi masih tetap tenang-tenang saja ataukah berpura-pura tak mengetahui? Lebih memilih hidup tenang dengan mengabaikan segala kenyataan yang tengah berlaku tersebut?! Atau membohongi diri engku sendiri serupa orang-orang SEPILIS itu dengan mengatakan bahwa Agama itu ialah Urusan Pribadi antara Manusia dengan Tuhan..!?”
Kamipun terkejut dengan jawapan yang kami dapat dari kawan kami ini. Memanglah selama ini kami lebih banyak bersikap abai mengenai perkara ini “Masih banyak yang hendak difikirkan..!” begitulah kata hati kami “Kehidupan anak-isteri entah hendak dibawa kemana, mesti lebih keras lagi usaha mencari uang untuk mereka..!” kata suara hati kami yang lain.
“Tentulah ada difikirkan jua engku, manalah mungkin akan tenang hati ini. Namun apalah daya kita ini, Tak ada daya apapun jua, orang-orang berkuasa yang disanapun tak dapat berbuat apa-apa. Usaha kami sekarang hanyalah memperkokoh keimanan anak-kamanakan, dan keluarga kami saja lagi..” jawab kami berdusta membela diri.
Kawan kami memandang kami dengan pandangan curiga “Memanglah benar engku, kamipun menyadari bahwa usaha yang engku tempuh sudah sangat baik sekali. Memang harus dimulai dari keluarga dan orang-orang terdekat. Namun orang-orang kafir ini mereka tiada pernah lelah dan berhenti, tipu daya mereka amatlah kuatnya karena media bersama mereka. Ditambah lagi uangpun ada pula bersama mereka..” Continue reading “Kacang Lupa Akan Kulitnya”